Menara Kudus " The Jerussalem of Java"

Senin, 16 September 2013
Angin Gunung Muria yang dingin menyejukkan, datang menyerbu menuju Kota Kudus nan cantik mempesona malam itu. Hempasan ramahnya, menggoyangkan pucuk-pucuk ranting pohon kelapa tepat di depanku. Sudah beberapa jam aku duduk manis bersila di sebuah teras berlantaikan keramik hijau nan bersih. Ku dengarkan khusyuk lantunan ayat-ayat al-quran yang merdu mendamaikan jiwa. Lantunan ayat suci penghias ceramah Rabu malam itu menundukkan wajah para pendengar, menapak dekatnya Allah di hadapan kita. Aku datang beberapa kilometer jauhnya ke tempat itu sejak habis Magrib tadi hanya untuk mencari ridha Allah Ta’ala dengan mendengarkan ceramah dari kyai  besar bernama Kyai Sya’roni. Sesekali ku tolehkan kedua mata ke angkasa melihat kilauan cahaya kekuningan bertebaran di langit nan maha indah. Spoi angin Gunung Muria di utara yang begitu sejuk memaksa mata ini untuk merasakan kantuk yang luar biasa. Meskipun, kelopak mata masih berusaha keras memberontak untuk terus terbuka.

Dalam perjalanan pulang membawa segenggam ilmu ku susuri lorong-lorong Kelurahan Kauman yang lekat dengan aroma religius. Tak lama kaki ini melangkah, terlihat di hadapanku sebuah bangunan yang berdiri dengan megahnyanya, tepat beberapa meter dari Kletheng Konghucu Ling Bio. Bangunan itu adalah Menara Kudus. Sejenak aku menatap bangunan mirip candi yang paling berharga di Kota Kudus itu. Terbersit perkataan dari pak kyai tentang sikap toleransi dan saling mengerti kekurangan orang lain ceramah malam itu. Entah kenapa secara spontan muncul pertanyaan bercampur rasa kagum dalam hati ini, “Bagaimana bisa Sunan Kudus menjadikan bangunan candi ini sebagai media dakwah? Apakah orang-orang Hindu tidak marah, bangunan suci agamanya digunakan untuk dakwah agama lain? Mungkin kah Sunan Kudus merebut bangunan itu secara paksa dengan kekerasan dan pertumpahan darah ? Kok bisa bangunan ini memiliki corak yang beraneka ragam ?”. Beberapa pertanyaan itu perlahan mulai terjawab setelah aku mendapatkan sebuah buku berjudul “Warisan Purbakala Kabupaten Kudus”. Buku bersampul cokelat tua itu pemberian Bapak Sancaka Dwi Supani, salah seorang teman ayahku di Dinas Pariwisata Kudus.  Meskipun aku bukan warga Kudus asli, tapi banyak sekali ketertarikan pribadi pada kota ini, salah satunya adalah Menara Kudus.

Menara Kudus bukan sekadar tempat beribadah. Tempat ini menjadi pusat penyebaran dan ziarah Islam di Jawa. Arsitekturnya memadukan nilai akulturasi Hindu, Islam, Jawa, dan China. Di sinilah geliat ekonomi dan pluralisme di Kudus bermula. Tidak heran, peneliti dari Barat menyebutnya sebagai ”Jerusalem” di Jawa. Keindahan arsitektur Menara Kudus telah menjadi sebuah monumen peradaban masa lalu dan pusat spiritualisme Islam hingga kini. Masjid Al-Aqsa atau dikenal Masjid Menara Kudus yang didirikan tahun 1549 ini tidak terlepas dari sosok Sunan Kudus yang menyebarkan Islam melalui alkulturasi budaya. Berdiri di atas tanah 7.000 meter persegi di Kelurahan Kauman, Kecamatan Kota, Masjid Menara Kudus yang lazim disebut Menara Kudus menjadi monumen dengan arsitektur lintas kultural. Bisa jadi, inilah satu-satunya masjid yang memadukan arsitektur Hindu, Islam, China, dan Jawa sekaligus dalam satu wujud bangunan. Arsitektur Hindu tercermin kuat dari wujud menara setinggi 19 meter. Mirip candi Hindu langgam Jawa Timur, menara tersebut menjulang ramping dengan konstruksi batu bata. Pagar kompleks masjid pun tersusun dari batu bata mirip benteng keraton, dilengkapi gerbang berbentuk regol. Gerbang utama berwujud gapura candi. Arsitektur Jawa terlihat pada bentuk bangunan utama masjid yang berwujud limasan. Demikian pula puncak menara. Pernak-pernik bangunan, baik di menara maupun bangunan utama masjid, terukir dalam tatahan China dengan corak bunga. Di bagian tubuh menara tertanam sejumlah piring keramik China.

Mark Woodward, sejarawan asal Amerika Serikat, dalam tesisnya berjudul “Jerusalem in Java” mengungkapkan, gaya Hindu, Jawa, sekaligus China dalam arsitektur Menara Kudus seturut dengan pola strategi dakwah Sunan Kudus yang lebih mengutamakan dua tema dasa yaitu integrasi Islam dengan budaya lokal dan anti-kekerasan. Integrasi budaya itu memberikan ruang toleransi kepada warga sekitar masjid yang beragam. Hal ini, menurut Woodward, selaras dengan cita-cita Sunan Kudus membentuk holy city sebagaimana kehidupan masyarakat di Masjid Al Aqsa di Jerusalem. Kabarnya Sunan Kudus dahulu pernah mengunjungi Jerusalem sebelum mendirikan Masjid Kudus. Masjid Kudus pun semula bernama Al Aqsa atau Al Quds (suci). Dari kata ”Al Quds” itulah nama ”Kudus” bermula, yang kemudian digunakan sebagai nama administratif Kabupaten Kudus saat ini.

Kota Jerusalem yang lekat dengan tiga simbol agama besar dunia, yaitu Masjid Al Aqsa (Islam), Gereja Suci Sepulchre (Kristen), dan Tembok Ratapan (Yahudi), diusung sebagai konsep pembangunan Masjid Kudus. Pada saat pendirian masjid, wilayah sekitar bakal Masjid Kudus memang telah dihuni empat agama yang sudah eksis, yakni Hindu, Konghucu, Kejawen, dan Islam.

Kerangka kebersamaan antarumat beragama sejak awal ditekankan Sunan Kudus dengan berbagai tradisi hidup bersama. Kelenteng Konghucu Ling Bio yang terletak 150 meter tenggara masjid dan berdiri sebelum Masjid Kudus hingga kini dipertahankan. Orang-orang Tionghoa leluasa beribadah dan berdagang di sekitar masjid. Dalam tradisi lokal, nilai-nilai toleransi juga diperkenalkan dengan adanya larangan menyembelih sapi, hewan yang disucikan umat Hindu. Pengakuan dari warga etnis Tionghoa yang tinggal di sekitar Menara Kudus bahwa sejak dahulu mereka tidak pernah menerima perlakuan diskriminatif dari warga muslim mayoritas. Dan hingga tahun 2012 ini,Menara Kudus masih menjadi pusat keagamaan dan ekonomi masyarakat sekitar yang sangat plural. Sebuah warisan konsep Jerusalem di Jawa yang tersemai sejak setengah milenium silam.

Terinspirasi dari forum kompasiana. 

Copyright @ 2013 Rajawali Kids. Designed by Templateism | MyBloggerLab